Politik layaknya air kopi, pahit namun nikmat dan diramu dengan
kemahiran demi mencapai kemakmuran. Dimulai dari seluk beluk kepahitan,
kebebasan dikekang, tanpa bisa berkoar menyuarakan keadilan. Nampaknya
keadaan tersebut sesuai dengan kondisi mahasiswa Orde Baru yang seakan
vakum dalam kegiatan oposisi.
Salah satu gerakan mahasiswa tersebut adalah kritikan terhadap
pemerintah mengenai strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional pada
tahun 1977-1978. Ternyata kegiatan tersebut menjadi pemicu penyerbuan
dan pendudukan militer terhadap kampus-kampus perguruan tinggi
Indonesia.
Praktek restruktuisasi politik menjadi langkah yang ditempuh bapak
pembangunan dengan menghapus Dewan Mahasiswa (DM) dan mengeluarkan SK
Kopkamtib No Skep 02/kopkam/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI No 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
demi membungkam kebebasan mahasiswa yang bergerak mengikuti nalar
intelektualitasnya. Namun puncaknya, pada tahun 1998, persatuan
mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Orde Baru dengan libasan bertubi
tanpa ampun. Raga dan ruh perjuangan menyatu demi keadilan yang
sesungguhnya. Sehingga era reformasi telah digenggam dengan mulus. Sejak
saat itu, mahasiswa semakin menunjukkan taringnya yang mencabik segala
keputusan pemerintah yang merugikan.
Mahasiswa acapkali dianalogikan sebagai agent of change, yaitu
kumpulan pemuda pencetus perubahan yang seringkali bertindak oposisi
terhadap rezim yang berkuasa. Pemilik paradigma idealis yang berpikir
demi pengabdian dalam masyarakat, itulah mahasiswa. Mahasiswa juga
dianggap sebagai pelopor runtuhnya kekuasaan perenggut kebebasan.
Sehingga banyak kalangan yang menganggap bahwa mahasiswa merupakan
ancaman terhadap suatu golongan. Maka dibutuhkan pemikiran cerdas dan
pengawasan dalam melakukan suatu tindakan. Mahasiswa harus tetap
berpikir idealis, tanpa dipengaruhi kepentingan politik nasional
tertentu.
Lalu bagaimana dengan politik kampus? Apakah ternoda layaknya dunia
perpolitikan nasional? Hakikatnya, mahasiswa dan politik terpatri bagai
benang kusut, sulit dipisahkan, namun tidak seratus persen menyatu.
Secara tidak langsung kehidupan politik nasional membawa pengaruh besar
pada kancah perpolitikan kampus. Kepemerintahan nasional acapkali sama
dengan sistem kepemerintahan kampus. Sebab itu, mahasiswa selaku aktivis
diharapkan menjadi pelopor perubahan yang berperan dalam pengawasan,
pengabdian, serta menyuguhkan perilaku positif demi kelangsungan sistem
kemasyarakatan kampus.
Peran mahasiswa sebagai pengawas berbagai kebijakan pemerintah dapat
direalisasikan dengan cara pembentukkan organisasi atau aliansi yang
berperan aktif dalam mengawasi dan menakar ada tidaknya keputusan yang
bersifat merugikan rakyat. Oleh karena itu harapan besar membuncah
tinggi pada setiap individu terhadap sepak terjang mahasiswa dalam
mengusung perubahan yang lebih baik.
Namun bila kita amati, tidak semua penghuni kampus berinisiatif
mendalangi lakon politik dengan memasuki salah satu partai, dan bermain
adegan di sana. Terdapat mahasiswa praktisi intelektual akademisi yang
berpola pikir anti politik dan anti aliansi. Padahal suatu kegiatan
politik atau aliansi pun diperlukan dalam mengembangkan kecerdasan
pemikiran serta menjaring sebanyaknya ilmu yang tidak didapatkan pada
forum perkuliahan. Sikap apatis mereka cenderung mengaliensi diri dari
hiruk pikuk hegemoni, memandang sambil mengernyitkan dahi terhadap apa
itu tindakan oposisi.
Bila kita maknai lebih dalam, kontribusi kita terhadap kancah
perpolitikan sebenarnya diperlukan dalam menempatkan diri terhadap
kehidupan sesungguhnya. Seorang individu tidak hanya dapat dikatakan
sukses apabila dia hanya mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
tinggi, namun juga kepiawaian olah diri dalam membawakan kepribadian
yang dapat membaur pada lingkungan sekitar juga dinilai penting.
Seluk beluk perpolitikan dalam ranah kampus memang belum dipahami
secara merata oleh mayoritas mahasiswa, padahal kampus merupakan pusat
intelektualitas, tempat pengembangan ranah pemikiran dan tindakan. Tidak
hanya berharap IPK tinggi, namun dapat pula berkontribusi dan ikut
andil terhadap pemecahan masalah di negeri ini. Lalu, apa pula yang
menyebabkan mahasiswa cenderung apatis terhadap kegiatan baik
perpolitikan maupun organisasi? Terdapat dua asumsi yang dinilai menjadi
tembok besar penghalang mahasiswa untuk aktif di ranah kampus.
Pertama, takut akan suatu hal yang baru. Lingkungan
universitas kadang membuat tercengang bagi mata yang baru melihatnya.
Bila dahulu hanya berada dalam lingkup sekolah, kini dibuat heran dan
ternganga dengan banyaknya organisasi hingga adanya sistem perpolitikan
yang merupakan duplikat politik nasional. Di sini selayaknya kita
sebagai mahasiswa selayaknya memiliki keingintahuan tinggi terhadap
suatu organisasi kampus, tidak apatis dan harus berani mencoba.
Kedua, paradigma IPK besar tanda kesuksesan. Sebagian
mahasiswa cenderung berlomba demi meraih prestasi di atas bangku
perkuliahan dengan harapan dapat memetik kesuksesan. Mereka berasumsi
akan mudah menduduki jabatan pada pekerjaan apabila mengantongi IPK
tinggi. Namun alangkah baiknya bila di samping itu, terdapat pula
kontribusi dan keaktifan di sela aktifitas perkuliahan. Tidak sedikit
para aktifis kampus yang dengan mudah mengenyam kesuksesan, dan banyak
pula para pemilik IPK tinggi yang terpuruk akibat menganggur.
Mahasiswa sebagai agent of change selayaknya tidak menjadi mahasiswa
yang apatis, mencari ilmu tidak hanya terpaku pada petuah dosen dan IPK
tinggi. Carilah ilmu layaknya orang yang kehausan di padang pasir,
ketika terlihat air, ditelan habis sampai ke sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar